Jakarta, CNBC Indonesia – Berdasarkan Pasal 42 UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwasannya setiap anak akan mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
Tak hanya itu, sang anak juga dapat menentukan pilihan agama yang dipeluk, tapi sebelum bisa menentukan hal itu maka agama yang dipeluknya akan mengikuti agama orangtuanya.
Lantas apa kabarnya jika suatu saat sang anak pindah keyakinan? Apakah sang anak bakal kehilangan hak waris di masa depan? Berikut penjelasannya.
Mewaris lewat hukum KUH Perdata
Dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dinyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dan prinsip pewarisan yang ada di KUH Perdata adalah berdasarkan hubungan darah.
Jadi intinya, yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 832 KUH Perdata.
Pembagian harta waris menurut KUH Perdata tidak membedakan bagian antara laki-laki atau perempuan, KUH Perdata juga tidak mengatur adanya pewarisan beda agama.
Apakah bisa mewaris lewat Hukum Islam?
Menurut Pasal 171 huruf C di Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Jelas bahwa bila seorang anak yang dulu beragama Islam dan pindah keyakinan, maka dirinya sudah tidak lagi memiliki hak waris.
Namun mengacu pada pasal 209 KHI, ada pasal yang mengatur soal Wasiat Wajibah yang umumnya digunakan untuk memberikan hak warisan pada anak-anak angkat yang besarannya tidak melebihi ⅓ dari harta si pewaris.
Dalam Putusan MA No. 16 K/AG/2010 tertanggal 30 April 2010, istri yang berbeda agama (non muslim) yang telah menikah dan menemani pewaris selama 18 tahun pernikahan juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah. https://cingengkali.com/