Bank Dunia Evaluasi Kebijakan RI Soal Komoditas, Sudah Benar?

Jakarta, CNBC Indonesia – Komoditas energi, perkebunan, dan pangan menjadi andalan banyak negara untuk menggenjot pendapatan sekaligus perekonomian, termasuk Indonesia. Kenaikan harga komoditas bisa menentukan arah fiskal sebuah negara.

Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects January 2024 secara khusus membahas peran dan pengaruh komoditas terhadap kebijakan fiskal sebuah negara. Indonesia menjadi salah satu yang disorot dalam laporan tersebut.

Menurut Bank Dunia komoditas bisa menjadi andalan dalam menopang pendapatan negara serta menjaga utang. Gejolak harga komoditas di dunia akan memberikan dampak bagi pengambilan keputusan khususnya dalam hal kebijakan fiskal.

Respon fiskal terhadap guncangan harga komoditas sangat berbeda antara negara-negara emerging market dan negara-negara berkembang (Emerging Market and Developing Economies/EMDEs) serta negara-negara maju. Respon tersebut berujung pada pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Negara-negara EMDEs yang mengekspor komoditas cenderung bereaksi secara prosiklikal,yaitu menggenjot pengeluaran pemerintah ketika harga komoditas ekspor naik.

Sementara eksportir komoditas negara-negara maju cenderung bersikap kontersiklikal, yakni mengurangi pengeluaran ketika harga naik.

Di negara-negara EMDEs, setiap 10% kenaikan harga komoditas ekspor maka itu akan menambah 0,6-0,8% belanja negara. Sebaliknya, di negara maju, kenaikan 10% komoditas ekspor akan membuat pemerintah mengurangi belanja sebesar 0,7-1,2%.

GEP

Laporan Bank dunia menunjukkan terdapat kajian perihal kenaikan harga komoditas telah mempengaruhi perilaku kebijakan fiskal.

Dampak total dari perubahan harga komoditas terhadap pertumbuhan dapat diturunkan menjadi dua hal, yakni “rains” dan “pours”.

“Rains” menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas akan diiringi dengan kenaikan produksi di sektor komoditas dan sektor lainnya. Kenaikan tersebut akan berimbas pada meningkatnya pendapatan masyarakat dan perusahaan. Lebih lanjut, kenaikan pendapatan akan meningkatkan pendapatan negara tersebut serta menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Dengan adanya kenaikan pendapatan serta pertumbuhan ekonomi maka akhirnya perekonomian menjadi sangat panas. Alhasil diperlukan kebijakan countercyclical untuk meredam perekonomian tersebut.

Sedangkan “Pours” terjadi ketika harga komoditas naik dan diikuti dengan pengurangan defisit fiskal hingga akhirnya mendorong pemerintah meningkat pengeluaran atau menurunkan pajak, kebijakan fiskal diperlukan untuk meningkatkan dampak guncangan terhadap output yang prosiklikal.

Secara umum, ketika siklus komoditas terjadi sejak 2003 hingga 2008, komponen “pours” dan “rains” tetap memberikan hasil yang positif bagi pertumbuhan ekonomi EMDEs.

Dengan mengambil sampel 11 EMDEs termasuk Indonesia, “pours” dan “rain” berada di posisi positif dan reaksi PDB baseline berada di angka 6,5%.

GEP

Penerapan peraturan fiskal di Indonesia telah memungkinkan Indonesia untuk mengikuti jalur keseimbangan fiskal yang hati-hati meskipun terjadi kenaikan harga ekspor.

Hal tersebut perlu dilakukan mengingat meskipun harga komoditas mengalami apresiasi, bukan menjadi jaminan bahwa fiskal akan menjadi surplus. Sebagai contoh, yakni Argentina yang mengalami keseimbangan fiskal memburuk sejak pertengahan tahun 2000an meskipun harga ekspor secara umum meningkat.

GEP

Aturan Fiskal Indonesia

Indonesia menetapkan defisit anggaran sebesar 3%  dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan plafon utang sebesar 60% PDB sejak 2003. Saat itu, pemerintahdefisit sebesar 1,7% PDB, utang sebesar 57% PDB, dan perekonomian berada pada jalur yang tepat pemulihan setelah krisis keuangan Asia.

Tujuan dari pembatasan defisit adalah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang positif agar menjadi hukum yang patut diindahkan dengan disiplin. Oleh karena itu, aturan-aturan tersebut harus dihormati dan menjadi tanggung jawab bersama agar dapat terpenuhi.

Kendati aturan fiskal telah diterapkan sejak 2003, namun dalam rentang 2003-2008, kebijakan fiskal Indonesia tidak bersifat countercyclical. Pemerintah tidak pernah menekan defisit saat terjadi booming komoditas. 
Sepanjang periode tersebut, realisasi defisit jauh di bawah targetnya karena belanja yang tidak maksimal bukan karena upaya pemerintah sengaja menekan atau memotong belanja.

Pengambilan keputusan kebijakan fiskal tersebut dilakukan karena kelemahan struktural pengelolaan keuangan publik dan kurangnya anggaran fleksibilitas.

Kelemahan ini antara lain karena ketergantungan yang tinggi dari pendapatan sumber daya alam, basis pajak yang sempit dan volatil, belanja diskresi yang rendah, dan permasalahan dengan pelaksanaan/eksekusi anggaran.

Indonesia dan Procyclical

Seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia bergantung pada hal pembiayaan eksternal yang cenderung procyclical.

Kendala likuiditas, terutama pada saat krisis, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menjalankan ekspansif kebijakan fiskal untuk mengimbangi dampak perekonomian secara perlahan.

Faktor lain penyebab prosiklikalitas yakni tingginya subsidi komponen anggaran, khususnya subsidi energi, yang menyisakan sedikit ruang untuk merespons perekonomian siklus. Namun, tagihan subsidi telah menurun sejak tahun 2015 berkat serangkaian reformasi.

PNBP SDA Indonesia Menopang APBN dan Utang

Sejak 2017 hingga 2022, posisi Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam (PNBP SDA) relatif terus mengalami kenaikan dari Rp135 triliun menjadi Rp268 triliun atau bertumbuh sekitar 98%.

Khususnya pada 2022, di saat kondisi harga komoditas yang memanas, PNBP SDA pun naik signifikan bahkan mencapai 118,65% dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN sebesar Rp226,5 triliun.

PNBP SDA TA 2022 tercatat naik 79,79% lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 dengan dominasi pendapatan minyak bumi serta pendapatan pertambangan mineral dan batubara yang memiliki komposisi paling besar. Lonjakan harga batu bara, nikel, dan minyak sawit membuat pemerintah mendapat durian runtuh sebesar Rp 420 triliun pada 2022, melalui PNBP dan pajak.

Merujuk pada data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kenaikan realisasi PNBP SDA Minyak Bumi utamanya disebabkan oleh tingginya realisasi ICP pada 2022. Kenaikan Pendapatan Gas Bumi antara lain disebabkan rata-rata kurs tahun 2022 lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 dan realisasi pembayaran faktor-faktor pengurang bagian negara berupa fee penjualan gas bagian negara, PBB Migas, PPN Reimbursement, serta Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pada tahun 2022 yang lebih rendah dibandingkan tahun 2021.

Lebih lanjut, kinerja positif Pendapatan SDA Nonmigas Pertambangan Minerba disebabkan oleh meningkatnya Harga Batubara Acuan (HBA) rata-rata bulan Januari 2022 sampai dengan Desember 2022 sebesar USD276,6 per ton. Di samping itu, kenaikan realisasi Pendapatan SDA Nonmigas sektor Pertambangan Minerba juga ditopang dengan terbitnya tiga regulasi baru pada tahun 2022 yaitu:

1. PMK Nomor 17/PMK.02/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP Kebutuhan Mendesak Berupa Denda dan Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri Pada Kementerian ESDM;

2. PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara; dan

3. PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM

Tidak sampai disitu, kenaikan PNBP SDA ini juga dapat menopang APBN serta menjadi salah satu sumber untuk membayar utang pokok dalam dan luar negeri termasuk bunga utang.

Berdasarkan data BPK dan Kementerian Keuangan, tercatat rasio PNBP SDA terhadap utang dan bunga utang bergerak variatif sejak 2017 hingga 2022.

Pada 2017, rasio tersebut berada di angka 23,87% dan sempat turun ke titik terendah yakni pada 2020 di posisi 13,91% hingga akhirnya melesat ke angka 29,65%.

Hal ini patut diapresiasi dan diharapkan mampu terus dipertahankan tinggi agar kondisi fiskal dan APBN Indonesia dapat ditopang salah satunya melalui PNBP SDA dan mampu tetap terjaga dengan baik. https://nutriapel.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*