Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah memiliki target produksi minyak bumi sebanyak 1 Juta barel per hari (bph) dan 12 miliar gas standar kaki kubik per hari (bscfd) pada tahun 2030.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menilai untuk menggenjot target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 mendatang, maka tidak bisa jika hanya dengan pendekatan biasa atau business as usual. Setidaknya, untuk mencapai target produksi minyak pada 2030, terdapat 4 indikator yang bisa diterapkan.
Mulai dari pendekatan business as usual, eksplorasi, reserve to production (RtoP), dan penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR). Sementara, strategi yang baru dimaksimalkan saat ini untuk dilakukan adalah business as usual.
“Sebetulnya untuk menaikkan produksi minyak nasional yang sudah dicanangkan oleh SKK Migas dan pemerintah 1 juta barel di tahun 2030 itu kan ada 4 yang pertama adalah business as usual kemudian eksplorasi kemudian RtoP dan EOR. Nah, Kebanyakan yang dilakukan adalah business as usual ini tidak bisa menaikkan produksi kalau hanya ini yang dilakukan,” ujar Djoko dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/1/2024).
Djoko menilai cukup sulit menaikkan produksi jika hanya mengandalkan pada pendekatan business as usual. Pasalnya pada saat produksi tahap pertama atau premier recovery hanya bisa memaksimalkan 30% dari temuan minyak yang ada di reservoir.
“Setelah itu tekanan habis, maka yang harus dilakukan adalah produksi tahap kedua atau secondary recovery yaitu dengan waterflood ataupun tekanan buatan dengan gas didorong itu minyaknya ke permukaan nah itu pun maksimum bisa menambah 20% jadi total 50%. Jadi 50% itu harus diangkat dengan namanya teknologi EOR yaitu produksi tahap ketiga,” katanya.
Berikutnya, RtoP, jadi lapangan-lapangan yang sudah ditemukan apabila tidak segera diproduksikan juga tidak akan menaikkan produksi. Namun kendalanya memang berkutat pada masalah keekonomian.
“Baik EOR maupun RtoP ini perlu diberikan insentif ya misalnya split seperti gas. Negara udah lah nggak dapat apa-apa yang penting harganya bisa US$ 6 per MMBTU di konsumen sama minyak udah lah negara nggak dapat apa-apa tetapi hanya dapat dari royalti atau FTP kalau di pertambangan tuh namanya royalti kalau di minyak tuh FTP dan plus pajak,” kata Djoko. https://ujiemisiapel.com/