
Jakarta, CNBC Indonesia – Tim Pemenangan Nasional (TPN) calon presiden dan wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD telah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi tekanan pembayaran utang sepeninggalan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan besar dalam satu tahun atau dua tahun mendatang.
Anggota Dewan Pakar TPN Ganjar Mahfud, Anton Gunawan mengatakan, peninggalan utang pemerintah yang saat ini sudah tembus Rp 8.041 triliun per November 2023, memang melejit disebabkan masa krisis Pandemi Covid-19. Pada 2019 misalnya utang pemerintah masih Rp 4.779,28 triliun, namun pada 2020 menjadi Rp 6.074,56 triliun, dan terus naik hingga 2023 secara nilai.
“Kita tidak menafikan tiba-tiba utang naik karena memang dibutuhkan untuk pembiayaan covid,” kata Anton dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/1/2024).
Anton menjelaskan, yang perlu dihadapi pemerintahan mendatang ialah beban pembayaran utang-utang ke depan yang akan tinggi bagi pemerintah. Ditambah, adanya kewajiban pembayaran hasil burden sharing dari pemerintah dengan Bank Indonesia selama masa Pandemi Covid-19.
Meski begitu, Kementerian Keuangan mencatat, burden sharing itu sebetulnya telah menghemat beban fiskal pemerintah mencapai Rp 29-30 triliun dari total burden sharing sebesar Rp 1.104,85 triliun yang dilaksanakan selama status darurat pandemi. Angka ini mencakup burden sharing dari skema Surat Keputusan Bersama (SKB) I-III.
Dalam SKB I, suku bunga SBN yang dibeli BI mengacu pada pasar. Di SKB II, yield yang berlaku sebesar 7% dan semuanya ditanggung BI, yakni Rp 397,56 triliun.
Untuk SKB III yang berlaku pada 2021 dan 2022, bunga yang ditetapkan sama dengan biaya operasi moneter. Nilai yang ditanggung BI sebesar Rp 439 triliun sepanjang 2021-2022.
Saat ini, suku bunga BI mencapai 5,76% dan suku bunga fiskal dari imbal hasil SBN di pasar sekarang mencapai 6-7%. Jika dikurangi, maka penghematan dari sisi yield yang sebenarnya harus ditanggung pemerintah 0,24%-1,2%.
“Tapi jangan lupa ini yang menjadi salah satu kehati-hatian yang harus kita lihat lagi dalam beberapa waktu ke depan, setahun dua tahun, dan dalam periode berikut ini pembayaran kembali utang-utang tersebut, termasuk yang burden sharing ke BI itu,” kata Anton.
“Itu lumayan tinggi itu setiap tahun hampir Rp 100 triliun. Bagaimana kemudian kita coba kelola utang ini sehingga betul-betul di satu pihak membayar pasti tapi di lain pihak juga bisa dengan mengeluarkan utang yang juga bisa relatif murah,” tegasnya. https://cerahkanla.com/